Beranda | Artikel
Eksistensi Hakikat dan Syariat dalam Istilah Sufi (Seri 02-Selesai)
Kamis, 31 Maret 2011

  • Ilmu Batin

Sering pula kita dengar Orang-orang sufi menyebut ilmu hakikat dengan istilah ilmu batin. Berikut kita coba menelusuri dasar pegangan mereka dalam hal ini.

Sebagian mereka menyandarkan perkataan mereka kepada hadist maudhu’ (palsu).

((علم الباطن  سر من سر الله عز وجل وحكم من حكم الله يقذفه الله عز وجل في قلوب من يشاء من أوليائه))

“Ilmu batin adalah rahasia dari rahasia-rahasia Allah dan hikmah dari hikmah-hikmah Allah. Allah menjatuhkannya kedalam hati siapa yang ia kehendaki dari para wali-Nya.”

قال ابن الجوزي هذا حديث لا يصح عن رسول الله صلى الله عليه وسلم وعامة رواته لا يعرفون (العلل المتناهية: 1/83)

Berkata Ibnul Jauzi, “Hadits ini tidak sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dan kebanyakan para rawinya tidak dikenal.”

Hadits kedua,

عن الحسن عن حذيفة سألت النبي  صلى الله عليه وسلم عن علم الباطن  ما هو فقال ((سألت جبريل عنه فقال عن الله هو سر بيني وبين أحبائي وأوليائي وأصفيائي أودعه في قلوبهم لا يطلع عليه ملك مقرب ولا نبي مرسل)).

Hasan meriwayatkan dari Huzaifah, ia berkata, ”Aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tentang apa itu ilmu batin? Beliau berkata bertanya kepada Jibril tentangnya. Maka ia menjawab dari Allah, “Ia adalah rahasia antara-Ku dan antara para keakasih-Ku, para wali-Ku dan para orang pilihan-Ku. Aku letakkan dalam hati mereka, tidak ketahui oleh malaikat yang dekat (Allah) dan tidak pula nabi yang diutus.”

قال علي القاري  قال العسقلاني موضوع والحسن ما لقي حذيفة (المصنوع: 123)

Berkata Ali Qari, berkata Ibnu Hajar Al-Asqalaany, “(Hadist ini adalah) maudhu’ (palsu) dan Hasan tidak pernah berjumpa Huzaifah.”

Berkata Imam Al Barbahaari, “Ilmu yang disebut orang-orang ilmu batin tidak pernah ditemui dalam Alquran dan tidak pula dalam sunnah. Maka ia adalah bid’ah dan sesat. Tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk mengamalkannya dan tidak pula mengajarkannya[1].”

Berkata Syeikh Islam, “Sesungguhnya hakikat ilmu batin yang mereka banggakan adalah penolakkan terhadap risalah yang Allah turunkan kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam. Bahkan penolakkan terhadap seluruh para rasul. Mereka tidak mempercayai apa yang dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam dari Allah, baik berbentu berita maupun perintah[2].”

Berkata lagi Syeikh Islam, “Para tokoh sufi sepakat bahwa orang yang mengaku mengetahui ilmu batin dari hakikat yang bertentangan dengan ilmu zahir dari syariat maka ia adalah Zindiq[3].

Menurut mereka ilmu batin dan ilmu zahir perumpamaannya bagaikan lempengan emas dan lempengan perak. Ilmu batinn adalah lempengan emas sedangkan ilmu zahir adalah lempengan perak. Mereka mengatakan bahwa ilmu yang diterima Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam dengan melalui perantara malaikat Jibril adalah lempengan perak. Sedangkan ilmu batin mereka langsung terima dari Allah adalah lempengan emas.

Berkata Syeikh Islam Ibnu Taimiyah, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menurut mereka dari lepeng perak. Karena menurut mereka ada dua lepengan; satu dari emas dan satu lagi dari perak. Mereka menganggap lempengan nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam adalah ilmu zahir. Dan lempengannya adalah emas yaitu ilmu batin. Dan lempeng perak adalah ilmu zahir. Mereka mendapatkannya tanpa ada perantara. Berkta Ibnu Arabi dalam kitab Fusus-nya, ”Bahwa tingkat kewalian lebih tinggi dari tingkat kenabian. Karena wali mengambil tanpa ada perantara sedangkan nabi melalui perantara (malaikat Jibril). Maka ia menganggap lebih memiliki keutamaan diatas nabi, bahkan ia tidak suka jika memiliki kedudukan yang sama. Ringkasnya ia tidak mau mengikuti nabi sedikitpun. Karena ia menurut pengakuannya menengambil langsung dari Allah…maka ia mengaku lebih sempurna dari Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam[4].”

“Barangsiapa yang menganggap bahwa diantara para wali yang telah sampai kepada mereka risalah nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam memiliki jalan tersendiri kepada Allah dan ia tidak butuh kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam maka orang ini adalah kafir. Apabila ia berkata: saya butuh kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam hanya dalam hal ilmu zuhir saja tidak dalam ilmu batin, atau dalam hal ilmu syariat saja tidak dalam ilmu hakikat maka ia lebih jelek dari pada Yahudi dan Nasrani. Kerena mereka (Yahudi dan nasrani) mengatakan Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam hanya diutus kepada orang Arab saja tidak kepada orang-orang Ahli kitab. Maka sesungguhnya mereka beriman dengan sebahagian dan kafir dengan bahagian yang lain maka mereka menjadi kafir karena hal itu. Demikian pula orang yang mengatakan bahwa nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam hanya diutus membawa ilmu zahir saja tidak diutus dengan ilmu batin. Ia beriman dengan sebahagian yang dibwanya dan kafir dengan bahagian yang lain, maka ia menjadi kafir (dengan hal itu) [5].”

“Bila ada orang yang menganggap bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam hanya mengetahui urusan-urusan yang zahir saja tanpa mengetahui hakikat keimanan. Dan ia mengaku mengambil ilmu hakikat diluar Alquran dan sunnah. Maka sesungguhnya orang tersebut telah mengaku beriman dengan sebahagian yang dibawa Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam dan tidak beriman dengan bahagian yang lain. Ini lebih jelek dari orang yang berkata: aku beriman dengan dengan sebahagian dan aku kafir dengan bahgian yang lain. Karena ia menilai bahagian yang ia beriman dengannya adalah bahagian yang rendah kwalitasnya (menurut dia) [6].”

Kenapa ia lebih kafir dari Yahudi dan Nasrani kerena ia manganggap bahagian yang ia beriman dengannya (ilmu syariat) yang dibawa Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam nilainya minus dibanding ilmu batin yang mereka milki sendiri tanpa harus melalui Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam dan malaikat Jibril.

Dengan mengaku mengetahui ilmu batin sebahagian sufi mengaku memilki syariat sendiri, bahkan yang lebih sesat lagi terbebas dari segala perintah dan larangan agama. Apa yang dikatakan atau dilakukan oleh sang kiyai mereka yang mengaku mengetahui ilmu batin tidak boleh dibantah, bahkan ditanya sekalipun. Bila sang kiyai minum khmar maka dengan ilmu batin ia dapat berubah menjadi air putih. Bahkan ada yang lebih patal dari itu semua, yang kita malu untuk mengungkapkannya disini.

  • Ilmu Ladunni

Kadangkala mereka sebut ilmu mereka (ilmu hakikat) dengan istilah ilmu ladunny.

Berkata Ibnul Qayyim, “Yang dimaksud oleh mereka dengan ilmu ladunni ialah ilmu yang diperoleh seseorang dengan tidak melalui sebab (belajar) tetapi dengan melalui ilham dari Allah. Berupa pemberitahuan dari Allah bagi seseorang sebagaimana nabi Khaidir ‘alaihi wasalam  tanpa melalui nabi Musa shallallahu ‘alahi wa sallam. Sebagaimana firman Allah,

{آَتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا} [الكهف/65]

Maka Allah membedakan antara rahmat dan ilmu, Allah menjadikan keduanya dari sisi-Nya. Ketika ia peroleh keduanya tanpa melalui perantara manusia. Akan tetapi khusus dan lebih dekat dari sisi-Nya.

Karena itu Allah berfirman,

{وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا} [الإسراء/80]

“Dan katakanlah, ‘Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.’”

Maka kekuasaan yang menolong yang datang dari sisi Allah secara khusus dan lebih dekat. Karena itu Allah katakan: “berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong” yaitu pertolongan yang diperkuat dengannya. Pertolongan yang datang dari sisi Allah dan juga pertolongannya melalui orang-orang beriman.

Sebagaimana firman Allah,

{ هُوَ الَّذِي أَيَّدَكَ بِنَصْرِهِ وَبِالْمُؤْمِنِينَ} [الأنفال/62]

“Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mukmin.”

Ilmu ladunni adalah buah dari kesungguhan dalam beribadah dan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, jujur bersama Allah dan ikhlas kepada-Nya. Juga bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu yang datang dari Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam. Serta kesempurnaan ketundukkan kepada beliau sehingga dibukakkan untuknya memahami Alquran dan sunnah yang diberikan secara khusus kepadanya.

Sebagaimana perkataan Ali bin Abu Thalib tatkala ia ditanya, “Apakah Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam mengkhususkan engkau dengan sesuatu dari manusia lain? Jawabnya,”Tidak! Demi Zat yang membolak-balikkan bijian dan yang menyembuhkan jiwa. Kecuali pemahaman yang yang diberikan Allah kepada seseorang tentang kitab suci-Nya.”

Inilah ilmu ladunni yang hakiki, adapun ilmu orang yang menyimpang dari Alquran dan sunnah serta tidak terkait dengan keduanya maka itu adalah ilmu ladunni yang datang dari bisikan nafsu sesat dan dari setan. Maka ia ilmu ladinni tetapi dari mana? Hanya bisa diketahui ilmu ladunni dari Allah adalah dengan mencocokkannya dengan apa yang dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam dari Rabb-nya.

Maka ilmu ladunni ada dua macam; ladunni dari Allah dan ladunni dari setan. Yang menjadi pembeda antara keduanya adalah wahyu dan tidak ada lagi wahyu setelah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam.

Adapun menjadikan kisah nabi Musa dan nabi Khaidir sebagai pegangan dalam bolehnya meninggalkan wahyu dan memilih ilmu ladunni. Ini adalah kekafiran yang mengeluarkan sesorang dari Islam serta boleh untuk dibunuh.

Perbedaanya; nabi Musa ‘alaihi wa sallam tidak diutus kepada nabi Khaidhir ‘alaihi wa sallam, dan nabi Khaidhir ‘alaihi wa sallam tidak diperintahkan untuk mengikuti nabi Musa ‘alaihi wa sallam. Jika ia diperintah untuk mengikutinya tentulah wajib baginya untuk hijrah kepada nabi Musa ‘alahi wa sallam dan ia akan bersamanya. Karena itu ia berkata kepada nabi Musa ‘alaihi wa sallam, “Engkau Musa nabi Bani israil?” Jawab nabi Musa, ”ya.”

Sedangkan nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam diutus kepada seluruh makhluk. Maka kerasulannya adalah umum untuk jin dan manusia dalam setiap masa. Jika seandainya nabi Musa ‘alaihi wa sallam dan nabi Isa ‘alaihi wa sallam hidup maka keduanya akan menjadi pengikutnya. Apabila nabi Isa shallallahu ‘alahi wa sallam turun (nanti di akhir zaman) maka sesungguhnya dia akan menjalankan hukum syariat nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam. Barangsiapa yang mengaku bahwa perumpamaan dia dengan nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam adalah bagaikan nabi khaidhir dengan nabi Musa, atau ia membolehkan hal itu bagi seseorang dari golongan umat ini. Maka hendaklah ia mengulang keIslamannya dan mengulang bersyahadat dengan syahadat yang benar. Sesungguhnya keyakinan seperti itu membuatnya meninggalkan agama Islam secara total. Apalagi untuk dianggap sebagai wali Allah yang khusus. Sesungguhnya ia adalah diantara wali-wali setan, penolongnya dan penggantinya. Ini adalah garis pembeda antara orang-orang zindiq dan orang yang benar-benar istiqomah dari kalangan mereka[7].”

Dalam ungkapan Ibnul Qayyim di atas di jelaskan bahwa ilmu ladunni yang dari Allah adalah pemahaman yang diberikan Allah kepada seseorang ketika ia belajar ilmu syariat yang dituntut kepeda para ulama yang diiringi dengan keikhlasan dan ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya shallallahu ‘alahi wa sallam. Bukan ilmu yang didapat melalui mimpi dan semedi, apalagi ilmu tersebut jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Alquran dan sunnah. Segala ilmu yang bertentangan dengan Alquran dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam maka itu adalah ilmu ladunni yang datang dari setan.

Pada tempat lain Ibnu Qayyim berkata pula, “Ilmu ladunni yang datang dari Allah buah dari ketundukan dan rasa cinta yang melahirkan keinginan untuk melasnakan amalan-amalan mandub stelah melaksanakan amalan-amalan wajib. Ilmu ladunni yang datang dari setan adalah buah dari berpaling dari wahyu (ilmu syariat) serta bisikan nafsu sesat dan setan[8].”

“Adapun yang diperoleh tanpa melaui seabab mencari dalil maka itu tidak benar. Karena Allah mennggantungkan mengenal ilmu dengan sebab-sebabnya sebagaimana Allah kaitkan kejadian Alam dengan dengan sebab-sebab pula. Seorang manusia tidak akan mungkin memperoleh ilmu kecuali ada dalil menunjukkannya kepada ilmu tesebut. Allah telah menyokong para rasul-Nya dengan berbagai macam dalil dan keterangan. Sebagai dalil yang menunjukkan mereka bahwa ilmu yang datang kepada mereka adalah dari sisi Allah. Dan dalil-dalil tersebut pula yang menunjukkan akan hal itu kepada umat mereka. Mereka memiliki dalil dan keterangan yang amat jelas bahwa yang ilmu yang datang kepada mereka adalah dari Allah.

Maka setiap ilmu yang tidak berdasarkan kepada dalil bagaikan pengakuan yang tidak memiliki bukti dan hukum yang tidak ada fakta. Jika demikian halnya maka ia tidak bisa dianggap ilmu apalagi dianggap sebagai ilmu ladunni.

Ilmu ladunni adalah ilmu yang dibuktikan dengan dalil yang shahih bahwa ia datang dari sisi Allah melalui para rasul-Nya. Apa yang diluar itu maka itu adalah ilmu ladunni yang datang dari diri manusia itu sendiri, darinya datang kepadanya kembali.

Telah banjir ilmu ladunni, amat murah harganya sehingga setiap golongan mengaku mendapat ilmu ladunni. Sehingga setiap orang berbicara tentang hakikat iman, suluk (budi pekerti), serta nama dan sifat-sifat Allah berbicara menurut apa yang terlintas dalam pikiran yang dilontarkan setan kedalam hatinya. Ia mengira ilmunya adalah ilmu ladunni.

Maka orang malaahidah dan zindik pum ikut mengaku bahwa ilmu mereka ilmu ladunni. Yang menjadi persolan ilmu ladunni siapa dan dari mana ilmu ladunninya tersebut.

Allah telah mencela dengan celaan yang tajam barangsiapa menisbakan kepada Allah sesuatu yang bukan dari-Nya. Sebagaimana firman Allah,

{وَيَقُولُونَ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَمَا هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَيَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُونَ} [آل عمران/78]

“Mereka mengatakan: “Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah”, padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui.”

Dan firman Allah,

{فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ} [البقرة/79]

“Maka kebinasaanlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; “Ini dari Allah.”

Juga firman Allah,

{وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ قَالَ أُوحِيَ إِلَيَّ وَلَمْ يُوحَ إِلَيْهِ شَيْءٌ} [الأنعام/93]

“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata, ‘Telah diwahyukan kepada saya’, padahal tidak ada diwahyukan sesuatupun kepadanya.’”

Barangsiapa yang berkata, “Ilmu ini dari Allah sedangkan ia bohong dalam penisbahan tersebut. Maka baginya bagian yang cukup dari celaan yang yang terdapat dalam ayat-ayat tersebut. Hal ini banyak terdapat dalam Alquran, Allah mencela orang yang menyadarkan sesuatu kepada-Nya tanpa ilmu. dan orang yang berbicara tetang sesuatu atas nama Allah tanpa ilmu. Karena itu Allah membagi hal yang diharamkan kepada empat tingkat. Dan Allah menjadikan tingkatan tertinggi berkata atas nama Allah tanpa ilmu. Allah menjadikannya tingkatan tertinggi dari hal-hal yang diharamkan. Hal itu diharamkan dalam segala kondisi, bahkan diharamkan dalam seluruh agama dan diatas lisan segala rasul. Orang yang mengatakan: “Ini adalah ilmu ladunni terhadap sesuatu yang tidak bisa ia pastikan dari Allah serta tidak ada pula keterangan dari Allah bahwa ilmu itu dari-Nya. Orang tersebut adalah pendusta alias pembohong diatas nama Allah, ia adalah orang yang paling zalim dan paling dusta[9].”

Demikianlah bahasan kita kali ini, semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang senantiasa berpegang teguh dengan ilmu-ilmu yang beliau warisan kepada umatnya. Juga menunjuki sesiapa yang tersesat dikalangan umat ini kepada jalan yang benar. Wallahu A’lam.

سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت وأستغفرك وأتوب إليك

Penulis: Ustadz DR. Ali Musri Semjan Putra, M.A.
Artikel www.dzikra.com


[1] Lihat, Syarhus Sunnah, 50.

[2] Lihat, Majmu’ Fatawa, 35/140.

[3] Lihat, Bayan Talbis Jahmiyah, 1/238.

[4] Lihat Majmu’ Fatawa, 4/172.

[5] Lihat Majmu’ Fatawa, 11/225.

[6] Lihat Majmu’ Fatawa, 11/226.

[7] Lihat Madariju As Salikiin, 2/475-476.

[8] Lihat Madariju As Salikiin, 2/477.

[9] Lihat Madariju As Salikiin, 3/433-434.


Artikel asli: https://dzikra.com/eksistensi-hakikat-dan-syariat-dalam-istilah-sufi-seri-02-selesai/